Kamis, 15 Mei 2014

Nasib Anak Kost

Si Beben kehabisan uang, padahal tanggal belum memungkinkan untuk gajian. karena gajian biasanya tanggal 5 setiap awal bulannya. Tapi bukan Beben namanya kalau tidak tau cara untuk meminta uang ke ortunya di kampung..

Di plotrokopi lah uang kertas lembaran Rp100.000 sebanyak 5 lembar dan menulis pesan singkat dalam surat kepada Bapaknya di kampung yang berbunyi "

"Harap Bapak kirimkan aslinya, GPL alias gak pakai lama..."

Membaca surat si Beben, Bapaknya jadi naik darah, dan sebentar itu juga di foto copy gambar "Kepalan Tinju Mike Tyson" sebanyak 5 lembar juga dan dimasukan kedalam balasan surat untuk si Beben, dengan pesan singkat berbunyi :

"Kamu tunggu aslinya"

wakakakaakakkaaaa..

Seorang Profesor

Profesor Carter berjalan kaki mengunjungi rumah seorang temannya yang terletak di ujung jalan. Setelah makan malam dan bermain catur, dia berpamitan hendak pulang. Tapi tiba-tiba hujan turun dengan derasnya dan angin bertiup sangat kencang.

"Jangan pulang dulu, hujan sangat deras dan udara sangat dingin juga. Menginap saja di sini!," cegah temannya. Sang Profesor segera menyetujui tawaran tersebut. Maka temannya itu masuk ke dalam rumah dan menyuruh istrinya untuk menyiapkan tempat tidur.

Ketika dia keluar lagi ke ruang tamu, ternyata Profesor itu sudah tidak ada. Dia dan istrinya mencari-cari ke segala sudut rumah, tetapi tidak menemukan Profesor.

Tiba-tiba terdengar orang membuka pintu dan masuk ke dalam rumah.
"Profesor Carter! Darimana saja engkau?" seru temannya.
"Ya? aku pulang sebentar ke rumah untuk mengambil baju tidurku," jawab Profesor.

IBU dan ANAK

Ada seorang ibu orang medan yang tengah mengatuk mau tidur
Lalu tiba-tiba anaknya bertanya: "Mak, Mamak udah pernah injak Jakarta?"
Si ibu menjawab "Udah nak"
Terus si anak bertanya lagi: "Kalau Bandung?"
Si ibu menjawab: "Udah anakku.."
Terus si anak bertanya lagi: "Kalau Jogjakarta udah?"
Si ibu menjawab: "Udah.."
Lalu si anak bertanya lagi: "Kalau Kediri, Surabaya, Makassar, Papua, Aceh, Ponianak, Pekanbaru, Balikpapan, Manado, Kendari, Pangkal Pinang, Batam, Palangkaraya udah mak?"
Sambil menahan kantuk si ibu menjawab: "Tidurlah nak, tinggal mulutmu saja lagi yang belum mamak injak"

NAIK LIFT

Icha adalah salah satu karyawan hotel berbintang lima di Surabaya. Suatu hari dia mendapat telepon dari Fitri, teman masa kecilnya dan merekapun terlarut dalam obrolan hangat. Setelah beberapa lama mengobrol, mereka mempunyai ide untuk bertatap muka secara langsung guna melepas kerinduan diantara mereka. Karena Icha sangat sibuk dengan pekerjaanya dan tak bis meninggalkannya sedetikpun, mereka memutuskan untuk bertemu di tempat Icha bekerja yaitu di hotel Saturnus lantai 10 blok 01.

Singkat cerita, Fitri menuju hotel Saturnus. Sesampainya di lantai satu, Fitri kembali menelepon Icha.

Fitri : Hallo... Cha... sekarang aku sudah berada di lantai satu, tolong jemput aku yach!

Icha : Kamu langsung naik aja ke lantai sepuluh, liftnya disebelah resepsionis.

Fitri : Aku gak berani naik sendirian, aku kan orang asing di hotel ini, entar aku dikira orang jahat lagi!. Jemput aku dong, please...

Icha : Ya... okelah!. Tunggu bentar, jangan kemana-mana!.

Setelah beberapa saat menunggu, batang hidung Icha muncul juga dan Icha mengajak temannya itu untuk naik ke lantai sepuluh.

Icha : Aku heran sama kamu sekarang!.

Fitri : Emang kenapa dengan aku Cha?.

Icha : Dulu, waktu di sekolah, kamu kan cewek paling pemberani diantara yang lain, sampai-sampai kamu dijuluki cewek superman. Kok sekarang mau nemui aku aja minta dijemput segala!.

Fitri : (sambil berbisik dan sedikit menahan tawa), Jujur aja Cha..., sebenarnya aku itu gak tau cara menggunakan lift...!.

Icha : Hah....!!!???

YA. (sebuah cerita yang dibilang pendek, bukan.. dibilang panjang juga bukan.. :D)

Di sebuah lautan (bukan lautan asmara lho, bukan juga lautan pensil, apalagi lautan luka dalam, sumpah bukan itu), ikan-ikan tampak melompat-lompat gembira. Ada yang lompat indah, lompat jauh, lompat tinggi, lompat tali, dan ada juga yang lompat jangkit. Di antara mereka ada juga yang memilih bersantai-santai, berbaring di atas permukaan air laut sambil menikmati indahnya pemandangan daratan dimana banyak makhluk darat berlari-lari kesana kemari, namun tidak mencari alamat. Terlihat juga Alex si ikan pari, tapi ia langsung sembunyi karena takut diceritakan di cerita ini. Hari itu memang cukup cerah, secerah masa depan pembaca semua. Matahari bersinar dengan penuh kasih sayang seakan-akan setiap sinarnya berkata “aku cinta kamu”. Wesyeh, so sweet.
Di sisi pantai, ada sesosok makhluk hidup bernama Sharky. Dia bukan hiu lho, mentang-mentang ada unsur “shark” terus memutuskan itu hiu. Dia adalah seekor ular yang sebatang kara, namun tidak pergi mencari ibunya. Di malam yang sangat dingin, dia juga tidak teringat mama. Soalnya itu Hatchi. Di usianya saat ini, ya 29 weeks his age, ia hidup tanpa kedua orangtuanya. Ibunya meninggal karena terlindas mobil anak labil di sebuah jalan tol. Saat itu ibunya hendak menyeberang, namun karena panjang tubuhnya yang 3 meter, ia terlambat untuk menyeberangkan seluruh anggota tubuhnya tepat waktu. Setelah kejadian itu, mobil yang menindasnya ringsek dan langsung terbakar. Udah, gitu aja. Lalu ayahnya mati karena kecelakaan lalu lintas. Waktu itu ayahnya sedang mengendarai motor. Di tengah perjalanan, tiba-tiba ia teringat kalau dia adalah seekor ular dan tidak mempunyai tangan. Akhirnya ia tidak bisa mengendalikan motornya dan ia jatuh ke dalam jurang bersama motor beserta roda, ruji, stang dan organ-organ motor lainnya.
Ya, sudah dulu flashbacknya. Soalnya saya jadi sedih. Walaupun ditinggal kedua orangtuanya, namun Sharky tetap menjalani hidupnya dengan sikap positif. Ia memiliki cita-cita yang mulia, yaitu menjadi ular professional. Ia selalu menanamkan sikap optimistisiasi. Saya rasa tak hanya Sharky saja yang punya sikap optimis, namun semua ular memilikinya. Itu kenapa ular memiliki “bisa”. Bisa itu memotivasi setiap ular agar yakin bahwa mereka bisa. Cerita akan berbeda kalau yang dimiliki ular adalah tidak bisa. Bakalan jadi aneh. Misalnya ada seorang pawang ular berkata pada orang-orang, “awas!! Tidak bisa ular ini sangat berbahaya!!” atau kalau ada orang digigit ular langsung berkata, “ah!!! Aku terkena tidak bisa ular!!!” Lho, jadi aneh kan? Ya sebagai manusia kita hendaknya belajar dari ular. Mereka bisa menaklukan siapa saja hanya dengan bisanya. Kita pun sebenarnya juga bisa. Kita bisa menaklukkan dunia kalau kita yakin kita bisa. Sebisa mungkin kita harus bisa. Ya udah segitu aja motivasinya. Bisa-bisa nanti ceritanya tidak bisa selesai.
Hari itu Sharky sedang mencari makan, sudah hampir 2000 detik ia belum makan. Ia berjalan menyusuri pantai sambil membentuk bekas langkahnya menjadi tulisan “I LOVE YOU”. Namanya juga hewan iseng. Ternyata makanan yang ia harapkan tak kunjung ketemu. Ia mengalami labil kelaparan. Berkali-kali ia melihat makanan, namun itu hanyalah fatamorgana. Dari kejauhan ia melihat sebuah daging ayam, setelah di dekati ternyata itu bukan daging ayam, tapi daging sapi. Ia pun meninggalkannya dan mencari makanan lain.
Cuaca lagi panas-panasnya soalnya cuaca sedang melihat pacarnya selingkuh. Sharky mulai kelelahan dan tubuhnya semakin lemah letih lesu. Hingga akhirnya ia didatangi oleh seekor legenda ular, THE KING OF COBRA. Gampangannya King Cobra gitu aja. Kobra itu merasa kasihan dengan Sharky. Dengan tenang dan penuh rasa percaya diri ia memberikan sekalung kalung. Ternyata itu adalah kalung ajaib. Di kalung itu terdapat sebuah kotak berisi sebuah permen. Memakan 1 permen ajaib itu sama saja memakan 1 kg daging segar. Ajaibnya lagi, permen itu tidak akan habis walaupun selalu dimakan. Permen itu akan muncul dan muncul lagi ketika dimakan. Sharky senang sekali menerima kalung itu. Namun King Kobra memperingatkan agar kalung itu digunakan secukupnye aje. Maksimal 5 buah per hari. Sharky pun berjanji mematuhinya. King Kobra langsung pergi (sepertinya ia juga malu diceritakan di cerita ini).
Setelah King Kobra pergi, Sharky langsung mencoba mencicipi permen itu. Sebelum makan, ia berdoa terlebih dahulu dan yang paling penting dia tidak memfoto permennya dan mengupload di jejaring sosial. (nggak maksud buat nyrempet-nyrempet, cuma nabrak) Setelah selesai berdoa, Ia pun langsung memakannya. Mungkin kalau yang memakan adalah Chef Juna, permen itu akan dianggap sampah. Tapi tidak untuk Sharky. Ia merasakan kenikmatan yang luar biasa yang membuatnya melayang setinggi langit dan jatuh di antara bintang-bintang. Halah. Ia pun ketagihan hingga memakan 5 permen sekaligus. Lalu ia sadar akan janjinya untuk tidak makan melebihi 5 permen. Namun di sisi lain ia tidak bisa menahan untuk terus menikmati kelezatan permen itu. Ia pun jadi galau. Basically, Sharky adalah tipe yang sangat menepati janji, namun kontroversi hatinya lebih menyudutkan pada konspirasi kenikmatan. Setelah sekian lama ia berpikirisasi, halusinasi, dan transportasi kereta api, akhirnya ia memutuskan untuk memakan 1 kali lagi saja. Hap! Lalu dimakan. Namun bukannya merasa puas, ia malah menjadi semakin menjadi-jadi. Jadi, ia terus makan dan terus makan. Hingga akhirnya ia mengantuk karena kekenyangan. Ia pun pergi di bawah pohon kelapa untuk tiduran sebentar.
Tiba-tiba terdengar gemuruh. Sharky pun terkaget dan langsung bangun. Di hadapannya sudah ada segerombol ular-ular mengerikan sambil membawa sabit (mungkin ular sawah yang baru pulang bekerja di sawah). Terlihat juga King Kobra. Ia terlihat marah. Saya aja jadi takut. Tapi saya harus menyelesaikan cerita ini. “kau sudah mengingkari janjimu!! Aku akan menghukummu!!” kata kobra marah. “maafkan aku tuan, aku menyesal melanggar janjimu.” Ucap Sharky penuh ketakutan. “Sudah berapa buah permen yang kau makan itu?”, tanya kobra dengan nada tinggi. “7 tuan.” “Bohong, berapa banyak permen yang kau makan?” “Baik tuan, se… se.. sepuluh tuan.” “kau masih bohong!! Sekali lagi aku Tanya, berapa permen yang kau makan???!!” “Sa… sa… saya makan 30 permen tuan. Maafkan saya tuan…” Jawabnya. Sharky sangat ketakutan. Badanya bergetar dan bergelombang dengan arah rambat gelombang ke segala arah. “Maaf pala lu peang!! Tak ada maaf untuk orang yang ingkar janji dan masih mencoba berdusta. Aku akan menghukummu. Setiap permen yang kau makan, aku akan memanjangkan ekormu 1 meter. Karena kau memakan 30 permen, jadi ekormu akan kupanjangkan 30 meter.” King Cobra mengangkat kepalanya sambil mengayunkan tongkat sihir di mulutnya. “Bin salabin jadi apa… pok pok pok…!!!” Dan JEBREETT!!! Ekor Sharky semakin memanjang meter demi meter hingga meter ke 30. Jadi, kini panjang tubuhnya menjadi 31 meter. Tentu ia merasa terbebani karena tubuhnya yang sangat panjang dan otomatis menjadi tambah berat. Ia tidak punya kekuatan dan tenaga untuk melata. Ia hanya bisa terdiam, menangis, dan menyesal. Tapi bagaimana lagi, menyesal tidak akan membuat panjang tubuhnya kembali normal. Menyesal adalah hal yang paling sia-sia di dalam hidup ini. Kini ia depresisisasi. Akhirnya ia memutuskan untuk bunuh diri. Ia menggigit ekornya sendiri. Bisanya mulai berefek pada tubuhnya. Tubuhnya mulai lumpuh, dan akhirnya ia mati.
http://cerpenmu.com/cerpen-lucu-humor/ya.html
Peristiwa ini sangat menggemparkan dunia, baik dunia perularan, dunia manusia, dunia lain, dan tak ketinggalan dunia fantasi. Peristiwa ini diabadikan dalam sebuah game yang bernama Snake yang sering kita mainkan di HP jaman dulu. Di game tersebut menceritakan apabila seekor ular memakan setiap satu makanan, ia akan bertambah panjang dan terus seperti itu. Apabila ia menabrak tubuhnya sendiri, ia akan mati. Ini menggambarkan bagaimana cara Sharky melanggar janjinya, yaitu setiap makan 1 permen tubuhnya menjadi semakin panjang. Kemudian ia mati karena menggigit tubuhnya sendiri. Karena banyak apresiasi tentang peristiwa ini, game Snake kini berkembang dan mendunia dan hampir ada di setiap HP. Harapannya dengan memainkan game ini, kita bisa belajar akan dampak negatif dari sikap berlebih-lebihan yang hanya akan menyusahkan kita di kemudian hari. Sesungguhnya yang berlebih-lebihan itu tidak baik dan Tuhan tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Hiduplah sederhana. Syukuri apa yang ada. Niscaya hidupmu akan bahagia. Sampai jumpa.

Misteri Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur

HUJAN turun deras. Datuk Banjir menutup kepalanya dengan kain sarung. Begitu juga kedua temannya. Dalam gelap, getek yang mereka naiki dibiarkan melaju sendiri mengikuti riak air. Di sebuah tempat, getek tiba-tiba berhenti. Datuk mengambil galah dan membenamkan ujungnya ke dasar air untuk mendapatkan gerak maju. Dasar air tak tersentuh. Getek tetap diam. 

Dicobanya lagi, masih tak berhasil. Datuk mengira, di sana ada lubang tempat persembunyian buaya.

Ketika air telah surut, Datuk kembali ke sana. Benar saja, di situ terdapat sebuah lubang. Bentuknya seperti sumur. Ia menamakannya Lubang Buaya.

Legenda Lubang Buaya berkembang dari mulut ke mulut. Terakhir, penduduk sekitar mendengarnya dari H. Yusuf, pria asal Cirebon, yang mengklaim keturunan Datuk Banjir. Mereka yang percaya, mendatangi sumur itu setiap menjelang musim hujan, sekira bulanOktober.

Di sana, mereka menyelenggarakan ruwatan. Doa mohon keselamatan dari ancaman bahaya banjir dipanjatkan. Nama Datuk Banjir yang diyakini menguasai tempat itu, mereka lafalkan dengan khidmat. Tradisi ruwatan meluas ke permohonan lain. Kepada sang penguasa sumur, warga juga meminta limpahan rejeki dan jodoh buat anak-anak gadisnya.

Sumur Lubang Buaya terletak di Desa Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, sekitar 20 kilometer dari pusat kota. Di sebelah selatannya terdapat markas besar Tentara Nasional Indonesia Cilangkap, sebelah utara Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, sebelah timur Pasar Pondok Gede, dan barat Taman Mini Indonesia Indah.

Tanah di seputaran bibir sumur berwarna merah kecoklatan dan kering. Bagian terdekat diberi terali besi bercat merah putih. Lantai marmer putih kilap mengelilingi sumur berdiameter 75 centimeter itu. Sebuah cungkup, bangunan seperti pendopo, memayunginya. Langit-langit bangunan ini diukir.

Tepat di atas lubang, sebuah cermin bergantung. Lewat cermin inilah orang bisa menatap dasar sumur yang diberi pelita. Kecuali nyala api tadi, tak ada apa-apa lagi di sana. Jangankan air, rumput pun tak tumbuh di sumur berkedalaman 12 meter itu.

Kalau Lubang Buaya ditata, itu bukan dimaksudkan untuk mengendapkan cerita rakyat tentang Datuk Banjir. Ada cerita lain yang punya dimensi politik, sekaligus jadi bagian sejarah Indonesia dengan segala kontraversinya. Di sanalah jasad tujuh perwira militer, enam jenderal dan seorang letnan, ditemukan dalam keadaan rusak. Peristiwa traumatik ini, terutama bagi militer Indonesia, dikenal dengan nama G-30-S PKI, kependekkan dari “Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia”.

Pembunuhan atas para perwira itu jadi antiklimaks ofensif PKI terhadap seteru-seteru politiknya. Militer memburu mereka yang dianggap bertanggung jawab. Kekuatan massa PKI habis dalam tempo cepat, menyusul pembantaian besar-besaran atas mereka di berbagai daerah oleh militer dan massa pro-militer. Sebagian di antaranya dijebloskan ke dalam penjara dan diasingkan ke pulau-pulau terpencil.

Kilas balik ofensif PKI, yang ditandai oleh pembentukan milisi dan sayap militer, sekurang-kurangnya dapat ditelusuri ke tanggal 23 Mei 1965. Saat itu, PKI menggelar peringatan ulang tahun. Dalam even ini, D.N. Aidit, ideolog PKI, menyeru kader-kadernya untuk meningkatkan sikap revolusioner.

Perayaan yang mirip ‘parade kekuatan rakyat’ itu semarak dengan poster-poster berisikan slogan-slogan PKI, termasuk propaganda pembentukan “Angkatan V”. Ini merujuk kepada kekuatan buruh dan tani untuk dipersenjatai dan dilatih kemiliteran. Empat angkatan yang telah terbentuk sebelumnya adalah militer angkatan darat, laut, udara dan kepolisian.

Ledakan kebringasan massa hanya tinggal tunggu waktu. Dan benar, seruan Aidit diikuti oleh terjunnya para eksponen PKI ke desa-desa membawa slogan “Desa Mengepung Kota”, tak ubahnya slogan Mao Tse Tung ketika mengobarkan revolusi komunisme di China.

Dalam aksinya, mereka meneriakkan kebencian terhadap unsur-unsur masyarakat yang dianggap jadi lawan-lawan politiknya. PKI mengekspresikannya dalam slogan “Tujuh Setan Desa”. Mereka adalah tuan tanah, tengkulak, bandit desa, tukang ijon, lintah darat, birokrat desa, dan amil zakat. Keadaan memanas, massa PKI melakukan serangkaian pembantaian dan pembunuhan sistematis terhadap “setan-setan” itu.

Aksi brutal PKI meresahkan rival-rivalnya. PNI (Partai Nasional Indonesia), NU (Nahdlatul Ulama), Parkindo (Partai Kebangkitan Indonesia), Partai Katolik, PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), hingga IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), siaga menghadapi berbagai kemungkinan seraya melontarkan berbagai kecaman. PKI di satu pihak dan lawan politiknya di pihak lain, berhadap-hadapan untuk suatu konfrontasi terbuka.

Pimpinan PKI di Jakarta, yang tergabung dalam Politbiro, lembaga kekuasaan tertinggi partai berlambang paru dan arit itu, menyambut reaksi seteru-seterunya dengan mempercepat pembentukan milisi. Juli 1965, kader-kader PKI berdatangan ke Lubang Buaya.

Di sana, mereka dilatih oleh sejumlah instruktur militer di bawah pimpinan Mayor Udara Sujono, Komandan Pasukan Pertahanan Pangkalan Halim. Tak hanya kaum pria, kader-kader PKI perempuan pun ikut serta. Kebanyakan dari mereka berasal dari organisasi yang sangat solid pada masa itu: Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia).

Di akhir latihan, mereka mendiskusikan berbagai persoalan politik, terutama sepak-terjang sejumlah jenderal yang dianggap korup dan dekaden hingga Indonesia dilanda krisisis. Saat itu, laju inflasi memang sudah mencapai dua digit. Antrean bahan makanan pokok berlangsung di mana-mana. Banyak rakyat yang kelaparan.

Massa PKI berang. Mereka berteriak-teriak meminta para jenderal itu dihadirkan ke hadapan mereka.
Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa, pasukan pengawal kepresidenan, memerintahkan Letnan Satu Dul Arief untuk menjemput dan membawa jenderal-jenderal yang telah didata. Pasukan Pasopati yang dipimpinnya segera bergerak dari Lubang Buaya sekitar pukul 03.00 WIB. Mereka menyebar ke sasaran masing-masing secara serentak.

Brigadir Jenderal Soetodjo Siswomihardjo, Brigadir Jenderal Donald Izaac Pandjaitan, Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal MT Hardjono, Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal R. Soeprapto dan Letnan Satu Piere Andries Tendean, mereka bawa ke Lubang Buaya untuk diinterogasi. Massa yang sedang kalap menganiaya mereka hingga tewas. Jenazah para korban lantas dibenamkan ke dalam sumur itu. [Versi lain mengatakan sebagian di antara mereka masih hidup ketika dijatuhkan ke sumur.

Kisah-kisah menyeramkan pun segera mengalir. Soeharto, salah seorang jenderal yang selamat, mengkampanyekan kekejian massa PKI lewat dua koran milik militer: Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Disebutkan, sebelum dibunuh, para perwira itu disiksa dan dijadikan bagian pesta mesum Gerwani. Sejumlah perwira disayat-sayat kemaluannya dan matanya dicungkil.

Sebelum dibunuh, mereka dikelilingi kader Gerwani sambil menari-nari dan menyanyikan lagu-lagu rakyat yang sedang populer masa itu, seperti Ganyang Kabir atau Ganyang Tiga Setan Kota ciptaan Soebroto K Atmodjo, komponis Lembaga Kebudayaan Rakyat, organisasi underbouw PKI. Genjer-genjer, lagu pop yang sedang hit waktu itu, ikut menyemarakkan. Mereka yang sudah trance kemudian menusuk-nusukkan pisau ke sejumlah anggota tubuh para korban.

Koran-koran pun memberitakan, dalam suasana yang semakin panas, beberapa wanita menanggalkan busananya, dan tenggelam dalam ritual pesta “Harum Bunga”. Pesta ini sekaligus memuncaki pesta sebelumnya sebagai suatu rangkaian penanda berakhirnya latihan militer mereka. Ada berita lain yang menyebutkan, bahwa dalam pesta itu mereka melakukan hubungan seks liar. Seorang dokter diisukan memberikan pil-pil perangsang syahwat.

“Jelaslah bagi kita,” kata Soeharto, “betapa kejamnya aniaya yang telah dilakukan oleh petualang-petualang biadab dari apa yang dinamakan Gerakan 30 September.”

Mendapat dukungan massa, Soeharto mengambil-alih tongkat komando militer Indonesia. Ia memimpin upacara pengangkatan jenazah dari dalam sumur, mempertontonkannya kepada massa, dan mempublikasi data-data forensik tentang kerusakan jenazah dan penyebabnya. Kebencian akan PKI menyebar ke seantero negeri dan melahirkan perburuan besar-besaran pada tokoh-tokoh serta anggota partai tersebut.
Sudomo, bekas menteri Koordinator Politik dan Keamanan, mengatakan, ada sejuta massa PKI yang terbunuh. Angka ini jauh lebih kecil dari perkiraan peneliti masalah ini, yang menaksir antara dua sampai tiga juta orang.

Mereka yang selamat dari pembunuhan dipenjarakan dan diasingkan ke berbagai tempat, mulai Pulau Nusakambangan [wilayah selatan Indonesia] hingga Pulau Buru [wilayah timur Indonesia]. Hampir semua tahanan politik PKI, yang jumlahnya ribuan, dipenjarakan tanpa proses pengadilan. Bahkan surat penahanan pun mereka terima setelah bertahun-tahun berada di balik jeruji besi.

Soeharto sendiri, lewat secarik kertas bernama Super Semar—kependekkan dari Surat Perintah Sebelas Maret 1966, yang diteken Presiden Soekarno—akhirnya memegang komando militer dengan kekuasaan penuh. Bahkan, dengan kekuasaannya itu, ia mengasingkan Soekarno ke Istana Bogor dengan alasan pengamanan.

Soeharto kemudian menanda-tangani surat keputusan No.1/3/1966 untuk membubarkan PKI. Surat keputusan ini diperkuat lagi dengan Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat Sementara (Tap MPRS) Nomor 25/1966.

Sejak itu, PKI dinyatakan partai terlarang, setiap kegiatan penyebaran atau pengembangan paham dan ajaran Komunisme-Marxisme-Leninisme, dianggal illegal. Seluruh eks PKI dan sanak-familinya tak diperkenankan masuk ke dalam jajaran pemerintahan dan militer. Di kemudian hari, mereka pun tak bisa jadi pegawai swasta karena swasta takut memperkerjakan mereka.

Bandul perubahan politik berjalan dengan cepat. Soeharto, yang sebelumnya sama sekali tak populer di mata rakyat, makin dielu-elukan sebagai penyelamat negara. Tahun 1967, ia diangkat jadi presiden kedua Indonesia oleh MPRS, yang diketuai Jenderal A.H. Nasution. Era Orde Baru dimulai.

Pada tahun itu juga, Soeharto langsung memerintahkan aparatnya untuk membebaskan kawasan Lubang Buaya dari hunian penduduk dalam radius 14 hektar. Mereka yang terusir kebanyakan memilih kampung Rawabinong dan Bambu Apus, beberapa kilometer dari Lubang Buaya, sebagai daerah tujuan.

Tahun 1973, kawasan itu diresmikan sebagai jadi Monumen Pancasila Sakti. Upacara kenegaraan 1 Oktober untuk mengenang peristiwa G-30-S PKI, segera mengubur upacara rakyat ruwatan Oktober untuk menyeru Datuk Banjir.

Ketujuh perwira militer yang terbunuh diabadikan dalam tugu, patung dan relief yang berada sekitar 45 meter sebelah utara cungkup sumur Lubang Buaya. Patung-patung mereka dibangun setinggi kurang lebih 17 meter dengan instalasi patung Burung Garuda di belakangnya. Dinding berbentuk trapesium, berdiri kokoh di atas landasan berukuran 17 x 17 meter bujur sangkar dengan tinggi 7 anak tangga.

Mereka berdiri dalam formasi setelah lingkaran, mulai Soetodjo Siswomiharjo, DI Pandjaitan, S. Parman, Ahmad Yani, R. Soeprapto, MT Hardjono dan AP Tendean. Salah satu patung di monumen tersebut, perwujudan A. Yani, yang di masa lalu jadi saingan Soeharto dalam karir kemiliteran, menunjukkan tangannya ke arah sumur Lubang Buaya—seolah hendak mengatakan, “Di sanalah kami mati.” Mati fisik, mati politik.

Untuk masuk ke dalam monumen, orang harus berjalan sepanjang satu kilometer dari Jalan Raya Pondok Gede. Ucapan “Selamat Datang” terukir di di atas batu besar berwarna hitam. Kembang kertas berada di sepanjang jalan masuk. Sekeliling monumen dibuatkan tembok tinggi dari muka hingga belakang.

Di areal monumen, terdapat museum. Di sini, pengunjung bisa mendengarkan riwayat singkat para jenderal yang terbunuh itu, dengan memasukan koin dan menggenggam gagang telepon di bawah foto mereka. Bagi yang ingin menonton film G-30-S PKI disediakan tempat khusus. Mereka yang ingin membaca, disediakan perpustakaan.

Beberapa bangunan bekas orang-orang PKI menjalankan aktivitasnya bertebaran di sana. Di sebelah kiri sumur, misalnya, terdapat bangunan berukuran sekitar 8 m x 15,5 m yang dijadikan tempat penyiksaan para perwira itu. Bangunan ini terbuat dari ayaman bambu dan bilah-bilah papan yang dicat coklat dengan jendela kaca hitam. Sebelum G-30-S meletus, bangunan tersebut dulunya Sekolah Rakyat.

Di dalam ruangan, terdapat 18 patung. Sebagian di antaranya, patung perwira militer yang sedang disiksa. Di depan mereka, berdiri empat patung perempuan aktivis Gerwani. Salah satunya mengenakan busana tradisional kebaya putih berbunga-bunga kecil, sarung batik, dengan rambut panjang terurai. Ia memegang pentungan dalam sorot mata bengis.

Untuk melihat patung-patung itu, tersedia tiga jendela yang terbuka lebar. Penerangannya jelek. Debu-debu yang menempel di patung-patung tersebut memberi kesan kurang perawatan.

Tak jauh dari sana, berdiri sebuah bangunan bekas dapur umum, yang kabarnya menyimpan suara-suara aneh tanpa wujud. “Tertawa cekikikan dan bahkan melenguh,” kata Yasan Suryana, seorang penjaga yang sudah 17 tahun bertugas sebagai pegawai honorer.

Terlihat, genteng rumah itu pernah direnovasi. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu bercat putih, dengan beberapa bagian dicat hijau. Menurut cerita warga di sana, rumah itu dulunya milik Ibu Amroh, seorang pedagang Cingkau (pakaian keliling). Tak ada yang tahu, di mana Ibu Amroh atau keturunannya berada kini.

Sekitar dua puluh meter dari dapur umum, terdapat rumah Haji Sueb, seorang penjahit. Ada beberapa bilik di dalamnya, dengan tiga lampu petromaks yang berdebu, mesin jahit di ruang tengah dan lemari pakaian dengan kaca besar di pintunya.

Rumah Haji Sueb dianggap sebagai pos komando PKI. Letnan Kolonel Untung, mengatur rencana penculikan terhadap perwira militer dari sana. Haji Sueb sendiri telah lama meninggal, setelah mengalami penahanan panjang di Pulau Buru. Keluarganya trauma dan tak pernah yakin Haji Sueb terlibat dengan gerakan itu. Suara-suara aneh pun sering terdengar di sini. Sejumlah penjaga, konon pernah mendengar suara tangis.

Kisah mistis masih bisa diperpanjang. Elizabeth [tanpa nama referensi kedua], pegawai museum, yang dianggap punya indera keenam oleh teman-temannya, sering melihat sosok perempuan yang tertawa-tawa saat berlangsung apel petugas jaga, yang kesemuanya berjumlah enam orang. Perempuan itu duduk di bawah air mancur yang menghadap Lapangan Saptamarga, tak jauh dari sumur.

Cerita-cerita mistis barangkali sama absurd-nya dengan cerita-cerita perlakuan kader-kader PKI terhadap para perwira militer yang dibunuh, termasuk penyayatan atas kemaluannya. Tahun 1987, dalam jurnal Indonesia terbitan Universitas Cornell, Ben Anderson, seorang ahli sejarah tentang Indonesia, mengungkapkan laporan dokter yang membuat visum et repertum atas jenazah para korban.

Dalam resume penelitian tim dokter yang diketuai Brigjen TNI dr Roebiono Kertapati itu, tertulis bahwa tak ada kemaluan korban yang disayat. Hal ini sekaligus mengukuhkan ucapan Presiden Soekarno, yang sebelumnya sempat mengatakan, bahwa 100 silet yang dibagikan kepada massa untuk menyayat-nyayat tubuh korban tak masuk akal.

Saskia Eleonora Wieringa—seorang sarjana Belanda penulis The Politicization of Gender Relations in Indonesia—menilai penjelasan resmi Orde Baru atas pembunuhan Lubang Buaya sebagai fantasi aneh. Dia mengatakan, penguasa militer dan golongan konservatif khawatir melihat kekuatan perempuan di zaman Soekarno, yang boleh jadi akan mengebiri kekuatan politik mereka. Dari sinilah mengalir fantasi aneh tentang pengebirian para perwira di Lubang Buaya itu.

“Semua pemberitaan mengenai Gerwani adalah fitnah yang dimulai oleh Soeharto sendiri,” kata Sulami, 74 tahun, tokoh Gerwani. Ia, yang kini ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966, pernah melakukan identifikasi terhadap mereka yang dibunuh ketika itu, mulai tempat, cara, hingga siapa saja yang membunuh.

Keberadaan sejumlah anggota Gerwani di Lubang Buaya itu pun masih penuh kabut. Beberapa peneliti justru tak melihat tindakan mereka sebagai usaha persiapan kudeta, melainkan dimaksudkan untuk memberi dukungan terhadap proyek politik Soekarno dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia. Mereka adalah bagian dari 20 juta relawan yang hendak memenuhi ajakan Soekarno.

Sejumlah studi kritis mengungkapkan fakta-fakta lain, yang menunjukkan bahwa ofensif PKI justru dipicu oleh rencana kudeta oleh pihak militer. Dalam sebuah pledoi di muka Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) pada 19 Februari 1966, pentolan PKI Nyono memberi kesaksian, bahwa pihak militer telah merancang rencana kudeta di bawah kendali apa yang dinamakan “Dewan Jenderal”. Untuk mengimbangi kekuatan ini, PKI membuat “Dewan Revolusi”.

Perihal Dewan Jenderal diketahui Nyono dari sejumlah informasi yang rinci, lengkap mendeskripsikan tanggal, jam, tempat, nama, acara, persoalan dan lain–lainnya. “Yang saya masih ingat,” ungkap Nyono, “ialah bahwa tidak semua jenderal masuk dalam Dewan Jenderal. Jumlah anggotanya kurang lebih 40 Jenderal, diantaranya kurang lebih 25 orang aktif menjalankan politik Dewan Jenderal. Tokoh–tokoh utamanya ada tujuh orang yaitu Jenderal Nasution, A..Yani, Suparman, Haryono, Suprapto, Sutoyo, dan Sukendro.”

Untuk mencapai ambisinya, mereka sering menggelar berbagai rapat. Terakhir, menurut ingatan Nyono, mereka mengadakan rapat pleno pada 21 September 1965 di Jl. Dr. Abdulrachman Saleh, Jakarta. Rapat yang dipimpin oleh Suparman dan Haryono ini, mensahkan rencana komposisi Kabinet Dewan Jenderal dan menetapkan waktu dilakukannya kudeta, yaitu sebelum Hari Angkatan Perang pada tanggal 5 Oktober 1965.

Komposisi kepemimpinannya, tambah Nyono, terdiri atas AH Nasution (Perdana Menteri), Ruslan Abdul Gani (Wakil Perdana Menteri), A. Yani (Menteri Pertahanan dan Keamanan), Suprapto (Menteri Dalam Negeri), Haryono (Menteri Luar Negeri), Sutoyo (Menteri Kehakiman) serta Suparman (Jaksa Agung).

Apapun, suara Nyono tenggelam di antara arus besar pembersihan orang-orang PKI dan catatan-catatan resmi yang bersumber dari pemerintah. Demikian pula hasil penelitian-penelitian forensik yang mencoba mengungkap sekitar kekejaman orang-orang PKI terhadap para perwira militer di Lubang Buaya itu. Penolakan sejumlah politikus untuk menghapus Tap MPRS Nomor 25/1966, ikut melestarikan cerita versi Orde Baru sebagai satu-satunya referensi sejarah sekitar peristiwa G-30-S PKI.

Ide penghapusan bukan hanya datang dari para peneliti, sejarawan dan masyarakat awam. Abdurrahman Wahid, presiden ke-4 Indonesia, sempat membicarakannya secara terbuka, walau mendapat kecaman dari sana-sini, termasuk dari Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia yang pernah dipimpinnya. Mengikuti pembicaraannya, Wahid bahkan melontarkan permintaan maaf atas nama rakyat terhadap orang-orang PKI yang selama puluhan tahun ditindas oleh negara di bawah pemerintahan Orde Baru.

Megawati Sukarnaputri, pengganti Wahid, tak pernah bertindak seperti itu. Tapi, di tahun 2002, ia tak hadir pada upacara 1 Oktober di Lubang Buaya. Apakah ini bentuk penolakan Megawati atas sejarah versi Orde Baru itu, tak pernah jelas. Tapi, sejatinya, ketidakhadiran Presiden dimungkinkan oleh protokoler negara sejak lahirnya Keputusan Presiden tentang perubahan nama peringatan: dari “Hari Kesaktian Pancasila” menjadi “Hari Mengenang Tragedi Nasional Akibat Pengkhianatan G-30-S PKI terhadap Pancasila”.